Sell On May And Go Away


 Sell on may and go away, dalam persamaan duniawi, ada beberapa bulan yang iconic banget, contohnya Januari effect, black September, window dressing di oktober dan bulan ini sell on may.
  Sell on may and go away tentunya sudah sangat familiar ditelinga para investor. Istilah ini berasal dari pepatah kuno dari Inggris yang dijadikan sebuah strategi untuk berinvestasi saham, crypto dan future dimana strategi ini adalah strategi yang menyarankan investor untuk jual saham secara besar-besaran dibulan mei dan investor akan aktiv beli lagi diakhir tahun atau pada kuartal 4. 
  Hal ini merupakan siklus berulang karena dibulan mei ditemukan banyak pola yang menunjukkan penurunan saham secara signifikan, hal ini dikarenakan kinerja pasar saham yang kurang, fenomena ini awalnya ramai sekali di negara Amerika Serikat dan Eropa, dikarenakan banyak investor yang berlibur saat musim panas dan akan menguat pada bulan november.
  Bay the way, itukan pepatah dari Inggris, emang berpengaruh sama saham di Indonesia?? Menurut kami pengaruhnya ada tapi tidak terlalu signifikan, jadi santuy aja buat temen² yang portofolionya masih kosong better wait and see, barang kali ada saham incaran yang terdiskon, buat yang lagi invest gak perlu panik untuk jual saham, be ready when other fear.
  Seberapa Akurat Pengaruh ‘Sell In May And Go Away’ Di Indonesia berdasarkan data?
Meskipun fenomena sell in may and go away berasal dari luar negeri, namun dampaknya juga seringkali dapat berimbas pada bursa saham di Indonesia. Pertanyaannya adalah seberapa besar pengaruh sentimen sell in may terhadap kinerja pasar saham Indonesia?
  Berdasarkan data kinerja historis IHSG (Indeks Harga Saham Gabungan) selama periode Mei - Oktober dalam beberapa tahun belakangan. Dibawah ini adalah contoh data kinerja bulanan IHSG selama 20 tahun terakhir (2001 - 2021). 


  Setelah itu, kita dapat membandingkan jumlah periode dimana IHSG terbukti berkinerja buruk terhadap jumlah periode data keseluruhan untuk mengetahui seberapa akurat pengaruh sentimen sell in may and go away terhadap kinerja IHSG.
  Setelah mengolah data di atas, dapat diketahui hasil dari data selama 20 tahun terakhir, ternyata hanya ada 7 kali saja dimana IHSG berkinerja buruk pada periode Mei - Oktober. Sisanya sebanyak 13 kali IHSG justru mampu membukukan kinerja positif, bahkan pada beberapa periode IHSG sempat menorehkan kinerja yang cukup impresif dengan tingkat pengembalian mencapai lebih dari 30%.
   Jika dihitung secara persentase, diperoleh tingkat akurasi “Sell in May and Go Away” di pasar saham Indonesia adalah sebesar 35%. Dengan kata lain, kita bisa menyimpulkan bahwa sentimen Sell in May and Go Away tidak begitu berpengaruh signifikan terhadap kinerja IHSG.
 Penting bagi seorang investor untuk melakukan penelitian dan mengambil keputusan investasi yang tepat berdasarkan fakta dan bukan hanya dengan mengandalkan teori populer yang beredar di kalangan investor seperti Sell in May and Go away. 
 Meskipun teori tersebut tetap ada benarnya sebagaimana yang ditemukan pada data statistik di atas, namun sebagai investor sebaiknya tetap lakukan penelitian dan analisis terlebih dahulu untuk menentukan apakah strategi ini cocok diterapkan pada kondisi pasar saat ini dan sesuai dengan kebutuhan yang kita butuhkan.


Next Post Previous Post